Popular Post

Posted by : Ahmad bahrul B. Senin, 26 Desember 2011



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Akhlak adalah lafaz yang berasal dari bahasa arab merupakan bentuk jamak dari  kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Berasal dari akar kata khalaq yang berarti menciptakan, yang seakar dengan kata khaliq yang berarti pencipta, makhluq artinya yang diciptakan dan khalq artinya ciptaan.
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa dalma kata akhlak tercakup pengertian terwujudnya keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan atau Allah) dengan prilaku makhluk (hamba atau manusia). Dengan kata lain, prilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan, prilaku  dan sifat-sifat didasarkan pada kehendak al-khaliq yaitu Allah rabbul alamin.
Menurut istilah, kata akhlak diberi definisi oleh beberapa ulama antara lain:

  1. Imam al-Ghazali dalma kitab Ihya Ulum al-Din memberi pengertian lafad akhlak sebagai berikut: Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
  2. Ibrahim Anis dalam kitab al-Mu’jam al-Wasith mengemukakan pengertian akhlak sebagai berikut: Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya timbul bermacam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
  3. Abdul Karim Zaidan dalam kitab ushul al-Da’wah menulis pengertian akhlak sebagai berikut: Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya, baik atau buruk, kemudian memilih melakukan atau meninggalkan.
  4. Ibnu Maskawaih salah seorang filosuf Islam mengemukakan pengertian akhlak yang lebih sederhana dari ulama lainnya sebagai berikut: Akhlak ialah keadaan jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikir dan dipertimbagkan terlebih dahulu.
Rumusan Masalah
  1. Bagaimana  sunnah berakhlak yang baik ketika membawa Al-Qur’an?
  2. Bagaimana berakhlak yang baik ketika berinteraksi dengan Al-Qur’an?
  3. Bagaimanakah sesungguhnya kecintaan (mahabbah) kita dalam memuliakan rasul?




BAB II
PEMBAHASAN
Akhlak Kepada Kitab AL-QURAN
(+) Berakhlak yang baik ketika membaca Al-Qur’an antara lain:
  1. Aku membacanya dalam kondisi yang paling sempurna, misalnya suci dari hadats, menghadap kiblat, duduk bersila, tidak bersandar atau duduk dengan posisi seenaknya atau duduk dengan posisi seenaknya atau posisi yang menggambarkan kecongkakan.
  2. Aku berusaha untuk memperindah suaraku ketika membacanya.
  3. Aku memulai membacanya dengan bacaan ta’awwudz
  4. Setiap di awal surah aku membaca basmalah kecuali surah at-Taubah
  5. Aku membacanya dengan Tartil, jelas dan perlahan-lahan (sesuai dengan tajwid)
  6. Aku berusaha membacanya secara rutin
  7. Aku memilih tempat yang bersih dan suci saat membacanya, dan lebih utama di masjid.
  8. Aku membaca Al-Qur’an dengan tenang, menjauhi tertawa, bergurau dan banyak bicara.
  9. Aku membacanya sendiri atau bersama teman secara berkelompok ada yang membaca dan ada yang menyimak
  10. Aku berusaha untuk menangis ketika mendengarkan ayat-ayat siksa dan neraka, bergembira ketika mendengakan ayat-ayat pahala dan surga.
  11. Aku tidak memandang ke sana kemari ketika membacanya, atau memutuskan bacaan dengan berbicara
  12. Apabila membaca ayat-ayat sajadah, aku berupaya untuk sujud tilawah
  13. Aku merahasiakan bacaanku jika aku khawatir akan terjatuh ke dalam riya’, sum’ah atau mengganggu orang yang sedang shalat.
  14. Aku akan berhenti membacanya bila sudah mengantuk
(+) Berakhlak yang baik ketika berinteraksi dengan Al-Qur’an
  1. Memuliakan Al-Qur’an, menyimpannya di tempat yang terhormat, yang mudah dilihat dan mudah diambil
  2. Memungut sobekan-sobekan kertas Al-Qur’an, mengumpulkan, menyimpan atau membakarnya.
  3. Bersungguh-sungguh mengamalkan isinya, melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya.
  4. Berusaha menghidupkan majelis-majelis Al-Qur’an, membaca secara bergantian sambil memperbaiki bacaan dan membaca pula artinya.
  5. Berusaha untuk menghafal Al-Qur’an, mengulang-ulang dan menjaganya.


(+) Akhlak Kepada Rasulullah saw
Mencintai dan memuliakan rasul
Setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah swt tentulah harus beriman bahwa Muhammad saw adalah nabi dan Rasulullah yang terakhir, penutup sekalian nabi dan rasul, tidak ada lagi nabi, apalagi rasul sesudah beliau (QS. Al-Ahzab, 33-40). Beliau diutus oleh Allah swt untuk seluruh umat manusia sampai hari kiamat nanti (QS. Saba’ 34:28). Kedatangan beliau sebagai utusan Allah merupakan rahmat bagi alam semesta (QS. Al-Anbiya 21:107).
Nabi Muhammad saw telah berjuang selama kurang lebih 23 tauhn membawa umat manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Beliaulah yang berjasa besar membebaskan manusia dari belenggu kemusyrikan, kekufuran dan kebodohan, berbagai penderitaan beliau alami dalam perjuangan itu. Dihina, dikatakan gila, tukang sihir, tukang tenung, penyair, disakiti, diusir dan hendak dibunuh, tapi semuanya itu tidak sedikitpun menyurutkan hati beliau, beliau tetap berjuang membebaskan umat manusia.
Surah at-Taubah 9:128
Artinya:
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.
Sebagai seorang mukmin sudah seharusnya sepantasnya kita mencintai beliau melebihi cinta kita kepada siapapun selain Allah swt. bila iman kita tulus, lahir dari lubuk hati yang paling dalam tentulah kita akan mencintai beliau, karena cintanya itulah yang membuktikan kita betul-betul beriman atau tidak kepada beliau. Rasulullah saw bersabda yang artinya
“tidak beriman salah seorang diantara kalian sebelum aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anaknya dan semua manusia (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i).
Sebagai konsekuensi dari menempatkan cinta kepada Allah dan rasul-Nya sebagai cinta yang pertama dan utama, maka tentu saja cinta kepada orang tua, anak-anak, suami, atau istri, sanak saudara, harta benda dan sebagainya harus ditempatkan dibawah kedua cinta tersebut (termasuk dibawah cinta kepada jihad pada jalan Allah).
Bentuk lain dari menghormati dan memuliakan Rasulullah saw adalah tidak berbicara dihadapan beliau Allah swt berfirman:
Surah al-Hujurat 49:2
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.
Mengikuti dan menaati rasul
Firman Allah swt : Surah Ali-Imran 3:31
Artinya:
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Apa saja yang datang dari rasul harus diterima, apa yang diperintahkannya diikuti, dan apa yang dilarangnya ditinggalkan. Keteten kepada Rasulullah saw bersifat mutlak, karena taat kepada beliau merupakan bagian dari taat kepada Allah.
Mengucapkan shalawat dan salam
Surat al-Ahzab 33:56
Artinya
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.
Perintah untuk bershalawat dan salam kepada nabi Muhammad saw dalam ayat di atas diawali oleh Allah swt dengan pernyataan bahwa Allah dan para malaikatnya bershalawat kepada nabinya. Hal itu disamping menunjukkan dan terhormatnya kedudukan beliau disisi Allah swt, juga menunjukkan betapa pentingnya perintah bershalawat dan salam itu kita lakukan.
Allah swt memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengucapkan shalwat dan salam kepada nabi bukanlah karena nabi membutuhkannya. Sebab tanpa doa dari siapapun beliau sudah pasti akan selamat dan mendapatkan tempat yang paling mulai dan paling terhormat disisi Allah swt. ucapan shalawat dan salam dari kita, orang-orang yang beriman, disamping sebagai bukti penghormatan kepada beliau, juga untuk kebaikan kita sendiri. Nabi bersabda:
“Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka  dengan shalawatnya itu Allah akan bershalawat kepada sepuluh kali” (HR. Ahmad)
Sebaliknya, nabi menyatakan bahwa orang yang tidak bershalawat tak kala mendengar nama beliau disebut adalah orang yang bakhil.
Hadis riwayat Turmidzi dan Ahmad:
“Yang benar-benar orang bakhil ialah orang yang disebut namaku dihadapannya, ia tidak mengucapkan shalawat kepadaku” HR. Turmidzi dan Ahmad.

Jangan merasa diri lebih mulia dari orang lain

"Apa yang sebenarnya dituntut dari kita ialah supaya membuat segala kebaikan dan mencapai segala kejayaan tetapi dalam pada itu kita diwajibkan mengekalkan rasa-rasa hamba di hati kita. Perbuatan lahir mesti positif. Rasa di hati mesti negatif. Dalam amalan hati, yang negatif itulah sebenarnya positif. Itulah akhlak namanya."

Manusia mempunyai roh. Roh itu dinamakan juga jiwa atau hati. Hati ialah untuk merasa. Maka dengan hati, manusia mengalami berbagai-bagai rasa dan manusia merasakan berbagai-bagai perkara. Di antara banyak rasa-rasa yang timbul di hati manusia termasuklah rasa sombong, angkuh, tinggi diri, rasa mulia, hebat, berkuasa, baik, pandai, rasa tidak bersalah, rasa kuat, rasa bangga dengan keturunan, kekayaan, pangkat dan nama, rasa tidak berdosa, rasa tidak apa-apa dengan Tuhan, rasa tidak apa-apa dengan mati, rasa tidak apa-apa dengan Neraka, rasa akan masuk Syurga dan sebagainya. Semua ini dinamakan rasa-rasa ketuanan.

Ada pula rasa rendah diri, rasa lemah, rasa hina, rasa berdosa, rasa bersalah, rasa cemas, rasa takut dan rasa bimbang dengan Tuhan, dengan mati dan dengan Neraka, rasa dhoif, rasa jahil, rasa tidak mampu, rasa bergantung harap dengan Tuhan dan sebagainya. Semua ini dinamakan rasa-rasa kehambaan.

Dalam pada itu, apa yang dapat kita lihat, orang yang merasakan dirinya mulia tidak semestinya mulia. Yang merasakan dirinya hebat, tidak semestinya hebat. Yang merasa dirinya baik, tidak semestinya baik, yang merasakan dirinya pandai, tidak semestinya pandai. Orang yang merasakan dirinya tidak berdosa pula, bergelumang dengan dosa, pagi, petang, siang dan malam. Sembahyang pun tidak.

Kita lihat pula orang yang merasakan dirinya hina, tetapi dia sangat dihormati dan disayangi oleh manusia. Akhlaknya mulia dan disenangi orang. Yang merasakan dirinya lemah, telah banyak mencetuskan berbagai pembangunan dan kejayaan. Yang merasakan dirinya berdosa, sangat taat dengan Allah dan patuh dengan kehendak agama. Yang merasakan tidak berilmu telah banyak mengajar dan mendidik orang. Banyak pula buku-buku atau kitab-kitab yang ditulisnya.

Jelas pada kita bahawa rasa-rasa yang timbul di hati manusia hanyalah semata-mata rasa-rasa sahaja yang tidak semestinya ada kaitan dengan realiti sebenar orang yang berkenaan. Apa yang dirasakan tidak semestinya mencerminkan perbuatan, sifat, keadaan dan amalan lahir orang tersebut.


Orang yang merasakan dirinya baik mungkin jahat dan orang yang merasakan dirinya jahat mungkin baik. Orang yang merasakan dirinya pemurah mungkin bakhil dan yang merasakan dirinya bakhil mungkin pemurah. Orang yang merasakan dirinya ikhlas mungkin berkepentingan dan yang merasakan dirinya berkepentingan mungkin ikhlas.

Jadi yang perlu kita fahami ialah:
  1. Sesiapa yang merasakan dirinya baik, hakikatnya dia jahat kerana telah menganggap dirinya mulia dan telah melakukan dosa batin atau dosa hati, walaupun dalam hidupnya dia memang baik. Lagi-lagilah kalau dalam hidupnya dia jahat.
  2. Siapa yang merasakan dirinya tidak berdosa dia sudah melakukan dosa, kerana merasakan diri tidak berdosa itu ialah satu dosa, walaupun dia tidak membuat dosa dalam hidupnya. Lagi-lagilah kalau dia memang membuat dosa.
  3. Siapa yang merasakan dirinya mulia hakikatnya hina dan telah melakukan dosa kerana merasakan diri mulia itu ialah juga satu dosa.
  4. Siapa yang merasa dirinya ikhlas sebenarnya tidak ikhlas dan merasakan diri ikhlas itu satu sifat mazmumah. Begitulah seterusnya. Segala rasa-rasa ketuanan yang bersarang di hati seperti rasa sombong, angkuh, tinggi diri, hebat, pandai, rasa tidak berdosa, tidak bersalah, tidak cemas, tidak takut atau tidak bimbang dengan Tuhan, dengan mati dan dengan Neraka, itu semua boleh mendatangkan dosa.

Dosa batin atau dosa hati namanya. Rasa-rasa ini menggelapkan hati, menyuburkan mazmumah dan menjauhkan kita dari Tuhan. Orang yang mengekalkan rasa-rasa ketuanan seperti ini sebenarnya telah melakukan syirik khafii (syirik kecil) kerana mahu berkongsi sifat dengan sifat-sifat kemuliaan Tuhan.

Apa yang sebenarnya dituntut dari kita ialah supaya membuat segala kebaikan dan mencapai segala kejayaan tetapi dalam pada itu kita diwajibkan mengekalkan rasa-rasa hamba di hati kita.

Justeru itu, buatlah segala kebaikan tetapi rasakanlah yang kita ini jahat. Elaklah dari membuat dosa tetapi rasakanlah di hati yang kita ini terlalu banyak dosa. Jangan berbuat jahat dan kesalahan, tetapi rasakanlah yang kita ini jahat dan bersalah. Rasakanlah diri kita ini hina walaupun kita dimuliakan manusia. Rasakanlah kita ini jahil walaupun kita ada ilmu.

Walaupun kita digalakkan mengikut sesetengah sifat Tuhan seperti pemurah, pemaaf, penyantun, pengasih, penyayang dan lain-lain lagi tetapi kita ditegah merasakan yang diri kita pemurah, pemaaf, pengasih dan sebagainya. Apa yang kita amalkan secara lahir itu lain tetapi apa yang kita rasakan di hati itu lain pula.

Akhlak itu ada dua. Ada akhlak lahir dan ada akhlak batin atau hati. Pemurahlah dengan manusia tetapi di sisi Allah rasakan yang kita ini bakhil. Berbuat baiklah kepada manusia tetapi rasakan yang kita ini jahat. Carilah ilmu hingga jadi alim tetapi rasakan yang kita ini jahil. Biarkanlah manusia memuliakan kita tapi rasakanlah dalam hati kita yang kita ini hina di sisi Tuhan. Kekalkan rasa takut, cemas dan bimbang dengan Tuhan, dengan mati dan dengan Neraka walaupun kita telah bertungkus-lumus melakukan taat kepada Tuhan.

Siapa yang merasakan dirinya hina, adalah mulia di sisi Tuhan. Siapa yang merasakan dirinya berdosa, diampunkan dosanya oleh Tuhan. Siapa yang rasa bersalah, dimaafkan oleh Tuhan. Siapa yang rasa jahil sebenarnya berilmu kerana natijah orang yang alim itu, dia merasakan dirinya jahil di sisi Tuhan. Dan begitulah seterusnya jongkang-jongkit di antara amalan lahir dan amalan hati. Perbuatan lahir mesti positif. Rasa di hati mesti negatif. Dalam amalan hati, yang negatif itulah sebenarnya positif. Itulah akhlak namanya.
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Mahaindah dan mencintai keindahan. Dia mencintai akhlak yang tinggi dan membenci akhlak yang rendah.” (HR Ath-Thabrani dan Ibnu Asakir)
Dengan kemuliaan akhlak seorang mukmin mampu mencapai derajat yang tinggi Ia akan mendapat derajat sama dengan derajat para mujahid fi sabilillah, para ahli ibadah, orang-orang yang senantiasa berpuasa, orang-orang yang shalat di malam hari dan orang-orang yang beristighfar di sore hari. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seorang muslim musaddid (ibadahnya sedang-sedang saja) akan mampu mencapai derajat orang-orang ahli puasa yang mendirikan ayat-ayat Allah, disebabkan oleh keindahan akhlaknya dan kemuliaan prilakunya.”(HR Ahmad dan Ath-Thabrani)
Nabi saw juga menjelaskan bahwasanya orang mukmin yang imannya paling sempurna adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Dan dengan kemulian akhlak seorang mukmin dapat mencapai derajat orang-orang yang berpuasa dan menunaikan zakat.
Orang-orang yang berakhlak luhur, berwatak mulia dan berperilaku bersih adalah manusia yang paling dicintai oleh Baginda Nabi dan akan mendapat tempat terdekat dengan beliau kelak pada Hari Kiamat. Dalam sebuah hadits, beliau menyatakan bahwasanya orang yang paling beliau cintai dan akan mendapat tempat terdekat dengan beliau pada Hari Kiamat adalah yang paling mulia akhlaknya. Sedangkan orang yang paliang beliau benci dan yang paling jauh tempatnya dengan beliau pada Hari Kiamat kelak adalah orang yang buruk akhlaknya, yaitu Ats-Tsartsarun (orang-orang yang banyak bicara), Al-Mutasyadidiqun (orang-orang-orang yang suka memanjangkan pembicaraan) dan Al-Mutafayhiqun (orang-orang yang congkak.).
Akhlak yang mulia juga akan menjadikan timbangan kebaikan seseorang bertambah berat pada Hari Kiamat kelak. Hitungan amal baiknya akan meningkat sedangkan timbangan amal buruknya akan berkurang. Rasulullah saw bersabda, “Tiada sesuatu yang lebih bisa memberatkan timbangan (kebaikan) orang mukmin pada hari kiamat, daripada akhlak yang baik. Sesungguhnya Allah membenci orang yang berkata kotor dan hina.(HR At-Tirmidzi)
Tahapan-tahapan dan kejadian-kejadian pada Hari Kiamat juga akan mudah dilalui oleh seorang yang berakhlak mulia. Dia akan mendapatkan tempat yang paling mulia dan derajat yang tinggi. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwasanya seorang hamba dengan kemuliaan akhlaknya akan mencapai derajat-derajat di akhirat yang tinggi dan tempat tinggal yang mulia. Padahal di dunia ibadahnya biasa-biasa saja. Sedangkan seseorang yang akhlaknya buruk akan terjerumus ke derajat paling rendah di neraka jahanam.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah:
  1. Akhlak mengatur tata cara dan norma-norma tentang hubungan antara sesama manusia dan yang maha pencipta
  2. Akhlak terhadap rasul bagaimana  kita mengikuti cara-cara/sunah yang pernah dilakukan oleh nabi
  3. Akhlak kepada kitab bagaimana kita bisa menjaga sunah dan adab-adab dalam menjaga Al-Qur’an
Saran
Adapun saran-saran dari kami
  1. Diharapkan pada teman-teman agar memberi motivasi dalam penyusunan makalah ini.
  2. Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan agar dalam penyusunan makalah berikutnya dapat lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © BLOGKU INSPIRASIKU - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -